 |
Kampung Bajo Sama Bahari ini dulunya bernama Sampela |
Jembatan-jembatan yang berdiri diatas tiang pancang yang di beberapa bagian sudah berbentuk beton seolah
menjembatani kekerabatan masyarakat disini. Hilir mudik anak-anak kecil
berlarian bersama temen-teman sebayanya. Perahu-perahu kecil tampak tertambat
teratur di kanal-kanal kecil yang sejatinya adalah laut. Susunan “Apo” atau
bebatuan karang yang menjadi pondasi dari halaman pekarangan mereka terlihat
kokoh. Petang itu sungguh bersahaja sekali di sebuah kampung yang berdiri
ditengah laut kaledupa, kampung Bajo Sama Bahari.
Dulu kampung ini bernama Kampung bajo Sampela. Namun
sekarang kampung ini berganti nama menjadi Sama bahari. Kampung suku bajo ini
terletak tidak jauh dari daratan Kaledupa, Wakatobi. Saya menggunakan perahu
kecil yang bermesin robin memakan waktu sekitar 15-20 menit dari daratan
Kaledupa. Dan sebuah dermaga kecil menyambut saya ketika hendak memasuki kampung
Sama bahari ini.
 |
Selamat datang di Kampung Sama Bahari |
Bocah-bocah kecil riuh berkumpul di dermaga ketika saya datang.
Mereka terlihat antusias sekali dengan para pendatang. Langkah saya tertuju ke
sebuah rumah bapak kepala desa kampung Sama Bahari tersebut. Setelah berkenalan
dan mengutarakan maksud kedatangan, saya pun kembali menyusuri jalanan setapak
yang sejatinya adalah jembatan kecil yang berdiri di atas laut.
Jembatan-jembatan ini seolah menjadi penghubung tali
silaturahmi antar keluarga di kampung ini. Namun saya juga menemukan beberapa
rumah yang belum terhubung dengan jembatan mungil ini. Kalau sudah begini
ceritanya, perahu kecil lah alat transportasi mereka. Dengan perahu kecil itu
mereka melakukan segala hal. Dari mengambil air kedarat, berbelanja, mencari
ikan, ataupun sekedar berkunjung ke rumah kerabat.
Asal-usul keberadaan suku Bajo masih simpang siur. Ada yang
berargumen suku ini dulunya pendatang dari Laut Cina selatan, namun ada juga
versi yang menerangkan bahwa suku bajo ini adalah pengikut Raja Sameng di Johor
yang sedang mencari putri raja yang ternyata sudah menikah dengan pangeran dari
bugis dan menetap di Sulawesi. Dari manapun asal-usulnya suku ini unik sekali.
Bahkan mereka mendapat julukan Gipsy laut.
Dulu suku bajo ini dikenal sebagai manusia perahu, karena
mereka hidup di atas perahu. Namun seiring perkembangan jaman Suku ini sudah
mulai mengenal tehnologi dan hidup menetap, meskipun tidak jauh dari laut,
bahkan masih ditengah laut. Alasan kenapa mereka tidak pernah jauh dari laut
adalah karena laut merupakan ladang mereka. Mereka biasa mencari nafkah dan
melangsungkan kehidupannya di laut. Ikan-ikan yang mereka tangkap dengan cara
tradisional di tengah laut biasanya di jual ke daratan Wanci, tapi biasanya ada
kapal yang mengepul ikan-ikan tangkapan nelayan di kampung ini, sehingga mereka
tidak perlu jauh-jauh pergi ke Wanci.
Suku ini percaya dengan “Umbo Mandilao” atau sang penjaga
laut. Mereka biasa menyebut sang penjaga laut ini dengan nenek moyang yang
bermukim di laut. Mereka selalu percaya bahwa Umbo Madilao lah yang selalu
menambah ikan di laut supaya tidak habis walaupun tiap hari mereka tangkap. Dan
mereka juga percaya bahwa sang penjaga laut inilah yang senantiasa menjaga
keberlangsungan kehidupan mereka di laut sampai kapanpun.
***
 |
Hasil Menyuluh di bakar bersama Labuka di depan rumahnya |
Labuka, pemuda kampung Sama Bahari ini mengajak saya
kerumahnya. Ikan-ikan hasil menyuluh malam itu di sekitar kampung akan kami
bakar di halaman rumahnya. Kampung gelap gulita malam itu. Namun saya bersyukur
dengan gelapnya kampung saya bisa melihat ribuan bintang bertebaran di angkasa
raya tepat diatas kampung ini. Sembari membuat api saya tergelitik dengan
kondisi kampung yang gelap gulita, ada apakah ini? Apakah listrik belum sampai
di kampung kecil ini? Ternyata pertanyaan-pertanyaan dalam hati saya di jawab
Labuka dengan nada keketiran yang dalam. “mungkin genset nya rusak bang, atau
belum ada yang bayar untuk beli minyak buat genset” sebuah kalimat meluncur
dari mulut sahabat baru saya itu. Dan ternyata untuk menghidupkan genset mereka
harus membayar dua ribu rupiah per rumah per malam. Heiii men dua ribu perak
sungguh berarti untuk penerangan disini, dimanakah nurani para pejabat kita di
kota Jakarta nan Jauh disana, sampai-sampai mereka tidak melihat kehidupan
kampung yang jauh dari kota yang gemerlap penuh fasilitas itu.
Ikan-ikan laut segar siap kami bakar. Sementara itu Labuka
membawa semangkuk air laut asin sebagai bumbu alami untuk ikan yang akan
dibakar. 2 onggok kasuami yang dibentuk seperti kerucut kecil juga sudah siap
menemani. Kasuami adalah makanan olahan dari singkong yang di parut dan
dimasak. Beratapkan ribuan bintang, diatas kampung ditengah laut saya menyantap
ikan bakar segar dan kasuami yang lezat, Labuka menghibur saya dengan sebuah
lagu daerah yang dia nyanyikan. Saya tidak tau makna dari lagu itu, namun yang
saya tangkap dari nada-nada yang keluar itu adalah kegetiran yang dialami olah
suku Bajo, kampung dimana Labuka lahir besar dan tinggal. Kampung yang belum
tersentuh oleh pembangunan yang merata di negeri ini. Ah sudahlah, Kampung Sama
Bahari ini mengajarkan saya tentang sebuah cara memaknai hidup dengan cara yang
sederhana.
 |
Sebuah Senja di daratan Kaledupa, tidak jauh dari Kampung Sama bahari berada |
Labels: Sulawesi, Travel