 |
Kampung Mola |
Kanal-kanal kecil yang berukuran tidak lebih dari 1.5 meter
terlihat sepi dengan perahu-perahu ramping tertambat di beberapa bagiannya.
Sementara di ujung kanal yang berbatasan langsung dengan laut wanci terlihat
hilir mudik sampan-sampan kecil berlalu lalang lengkap dengan pemandangan
beberapa wanita dan anak-anak perempuan yang asik mengayuh sampan dengan santai.
Inilah kampung Mola. Kampung suku Bajo di pulau Wangi-Wangi.
Suku Bajo memang unik. Mereka sering menyebut diri mereka sebagai orang laut.
Lahir, besar dan hidup mereka di laut. Lautan luas adalah halaman ruma-rumah
panggung mereka. Biasanya mereka menyusun batu-batu karang di tengah laut
kemudian mendirikan rumah panggung diatas nya.
Sampan kecil adalah kendaraan mereka. Mereka tidak pernah
berpikir tentang fluktuatifnya harga kendaraan bermotor, mereka tidak pusing
dengan kenaikan BBM. Mereka hanya mengayuh sampan nya dengan dayung kecil saja.
Pergi dan pulang melaut cukup bermodalkan tekad baja dan beberapa bungkus
Kasuami saja.
 |
Suasana Kampung Mola Wakatobi |
Kampung Mola berdiri sekitar tahun 1950. Bermula dari
persoalan karena ada warga suku bajo di Kaledupa, tempat awal mereka sebelum
berpindah ke Mola di tuduh terkait dengan gerakan DI/TII. Seorang ulama dari
suku mereka tewas di saat mereka tidak tahu menahu tentang gejolak yang sedang
terjadi di negeri ini waktu itu. Saat itulah mereka mulai berpindah ke daratan
di kampung Mola.
Kehidupan di kampung Mola ini seperti kehidupan kampong
nelayan pada umumnya. Wajah kemiskinan masih terlihat jelas di beberapa sudut
kampong ini. Pendidikan masih belum menjadi prioritas utama keluarga di kampung
ini. Masih banyak anak-anak usia sekolah dasar terlihat asik membantu orang
tuanya di laut. Namun begitu bukan lah halangan bagi beberapa orang yang bisa
meriah kesuksesan duduk di kursi pemerintahan. Warga Bajo di kampung Mola kini
sudah sedikit bergeser dari pakem leluhur mereka sebagai orang laut.
Kampung Mola kini mulai terlihat beda dengan kampung-kampung
suku Bajo lainnya yang tersebar di Kaledupa. Di kampung Mola ini sudah ada
beberapa rumah yang dibuat dari beton beratapkan seng, meskipun di
pesisir-pesisirnya masih berupa rumah-rumah panggung yang menancapkan tiang
pancangnya ke laut. Sebuah tradisi yang mulai di sudutkan oleh keadaaan.
Mungkinkah kampung Mola bisa mempertahan kan tardisi-tradisi nenek moyang
mereka sebagai orang laut? Entahlah…
Labels: Sulawesi, Travel