 |
Mampir Makan siang di Serang |
"Antaro merak jo bakauheni,
antaro sabak jo gadang hati, den tinggakan kampuang nan denai cinto, dek harok
kabatuka untuang jo parasaian"
Lirik lagu dari daerah
Sumatra Barat itu seolah terngiang kembali ketika saya duduk di salah satu
sudut kapal ferry yang menyeberangkan saya dari tanah jawa menuju pulau Sumatra
ini.
Hal serupa juga saya rasakan
belasan tahun yang lalu ketika pertama kalinya saya harus pergi merantau
meninggalkan segala kesenangan di kampung halaman demi sebuah harapan baru di
pulau Sumatra.
Cerobong asap mengepulkan
asap hitam yang seolah mengabarkan bahwa kapal ferry ini sudah mulai renta.
Para penumpang lain terlihat hilir mudik membunuh rasa bosan diatas kapal.
Beberapa supir truck juga terlihat sedang asik bersendau gurau dengan beberapa
penjual jamu gendong di geladak kapal. Saya selalu suka dengan suasana kapal
seperti itu.
 |
Mulai Jalan |
Setelah menitipkan tas
carrier saya di sebuah kantin kapal, saya mulai berkeliling.. Memandangi lautan
lepas sambil menghirup angin laut sepuas-puasnya membuatku merasa begitu bebas.
Samar-samar terlihat gunung anak Krakatau menjulang tinggi dengan keangkuhannya.
Ombak juga seolah tiada bosan-bosannya menghempas lambung kapal. Cuaca saat itu
memang tidak begitu bagus buat berlayar.
***
 |
Salah satu sudut kapal Ferry |
Rencana yang seharusnya
berangkat pagi akhirnya harus molor hingga tengah hari. Rasanya tidak mungkin
saya meninggalkkan sebuah acara keluarga, hingga akhirnya selepas sholat jum'at
saya berpamitan dan segera menata tas carrier di atas motor matic kesayangan.
Ya kali ini saya akan menyusuri keindahan propinsi paling dekat dengan pulau Jawa
ini dengan mengendarai sepeda motor matic si RIO (sebutan buat vario
kesayangan).
Setelah semua beres
perjalanan pun saya mulai. Rute awal yang akan saya tempuh kali ini adalah
Tangerang-Merak melewati kota Serang. Tidak terlalu jauh sebenarnya rute kali
ini. Tidak sampai 3 jam saya sudah berada di pelabuhan Merak Banten. Namun
ternyata perkiraan waktu saya salah, justru ngantri di kapal nya yang memakan
waktu lama.
***
Secangkir kopi Lampung panas
terhidang di sebuah meja kecil yang terdapat di pojokan kantin kapal ini. Dari
sini saya tetap bisa menikmati hamparan lautan luas ditemani secangkir kopi Lampung.
Sungguh sebuah perpaduan yang luar biasa.
 |
Mulai merapat ke Bakauheni |
Kapal mulai merapat ke
pelabuhan Bakauheni di Lampung ketika adzan magrib berkumandang. Itu artinya
saya pasti kemalaman untuk sampai di kota Bandar Lampung. Sebenarnya ingin
langsung melanjutkan perjalanan ke daerah pesawaran, tepatnya di daerah
Ketapang dimana merupakan sebuah desa yang terdapat dermaga jika kita hendak
berpetualang di pulau-pulau sekitarnya seperti pulau Kelagian, pulau Pahawang
maupun Tanjung Putus yang paling jauh.
Tapi menurut saran om Doddy,
salah seorang sahabat saya di kota Bandar Lampung didaerah tersebut tidak
terdapat penginapan. Dan kebetulan sekali beliau menawarkan rumahnya untuk saya
bisa bermalam. "Jangan sungkan-sungkan lang kalau mau nginep" yess
bunyi sms itu seolah oase di tengah padang pasir buat saya. Tanpa pikir panjang
rencana Ketapang saya ganti dengan bermalam dulu di Bandar Lampung, dirumah om
Doddy.
Tiba di kota Bandar Lampung
sudah hampir jam 9 malam. Motor matic saya juga terasa seolah kecapekan. Perut
juga terasa mulai melilit kelaparan. Akhirnya di sebuah warung pecel lele di
pinggir sebuah jalan protokol di kota Bandar Lampung saya beristirahat sambil
mengisi perut. Dan di tempat itulah om Doddy menjemput saya.
Setelah meletak kan tas di
rumah, ternyata ada undangan lagi untuk menikmati lezatnya kopi lampung.
Terletak tidak jauh dari tugu Gajah yang menjadi maskot kota Bandar Lampung,
terdapatlah sebuar warung kopi yang lezat itu. Dengan konsep Outdoor (tanpa
atap) rasanya cozy sekali menyeruput lezatnya kopi Lampung sambil bercengkrama
bersama para sahabat baru. Di warkop itu saya juga bertemu dengan om Budi dan
beberapa sahabat baru dari Lampung yang berasal dari berbagai macam latar
belakang pekerjaan yang berbeda. Sungguh pengalaman yang luar biasa bisa hadir
di tengah-tengah kebersamaan sahabat-sahabat baru di propinsi yang baru saja
menggelar Tapis Festival ini. Rasa penat mulai menjalar hingga akhirnya saya
harus merebahkan diri di kamar depan rumah om Doddy, dan dalam hitungan kelima
saya sudah terlelap kawan, tapi petualangan masih berlanjut kawan.
***
Labels: Sumatera, Travel