Siapa yang tidak kecewa jika sesuatu yang dimilikinya di
curi?
Hidup di sebuah Negara yang mendapat peringkat buruk dalam
hal pembajakan tentu saya sadar akan segala resiko ketika mengunggah sesuatu ke
dunia maya. Sudah terlalu sering rasanya foto hasil kluyuran saya di pakai oleh
seseorang tanpa ijin terlebih dahulu. Kalau konteks nya sharing tentang
keindahan, saya selama ini diemin saja.
Akan berbeda hal nya jika seseorang tersebut mengambil keuntungan
sejumlah nominal rupiah dari foto-foto
tersebut, tentu saya tidak rela foto saya dijadikan “komoditi’nya mereka, dan
saya akan pasang badan untuk menuntut hak saya.
Suatu pagi yang masih sejuk saya mendapat konfirmasi dari
seorang kawan di Lombok tentang munculnya foto saya di sebuah liputan pada website
travel negeri ini. Setelah saya buka ternyata benar saya melihat foto tersebut,
dan saya yakin itu adalah foto saya. Dari angle, exposure maupun rasa yang
terpancar foto tersebut mengatakan bahwa itu hasil karya saya. Merasa masih
agak ragu saya mencoba membandingkan foto yang nongol tersebut dengan foto
hiRess yang saya punya. Hasilnya mengatakan bahwa foto itu sama persis.
Merasa sebagai pihak yang di rugikan saya mengunggah temuan
tersebut ke situs jejaring social Facebook pribadi saya. Banyak sekali komen
dukungan yang masuk, hingga salah satunya menyebutkan “penuisnya ada di FB tuh
mas”, saya mencoba mencari hingga akhirnya ketemu. Saya menanyakan apa maksud
dari pencaplokan foto tersebut? Dia berdalih mendapatkan foto tersebut dari
sebuah blog yang ternyata blog tersebut juga mencuri foto saya, bahkan tidak
tanggung tanggung lagi Initial/watermark yang biasa saya sematkan di setiap
foto yang saya unggah di hilangkan. Sang Penulis berdalih lagi dia sudah
menampilkan alamat blog sumber foto tersebut (walau tanpa konfirmasi ke pemilik
blog perihal penggunaan foto). Ok saya coba bersabar, mungkin saya yang salah,
hingga saya membaca sebuah pesan dari embak-embak penulis tersebutseperti ini
“ps: jika tidak ingin
foto mas dicuri atau diambil penadah, bisa dipublish saja di flickr dan
sejenisnya. [:)”
Waduh kok rasanya kurang etis ya seorang Jurnalis sebuah
situs travel besar ngomongnya seperti itu, jadi dia membenarkan mengambil foto
selain dari flickr dan sejenisnya. Setahu saya yang sudah bertahun-tahun
bergelut dengan media sharing foto seperti Flickr dan sejenisnya justru dari
flickr malah gampang diambil, saya hanya bisa mengelus dada mencoba bersabar,
hanya itu yang saya bisa soalnya.
Hingga sebuah mention dari seorang sahabat di akun twitter
saya mempertemukan saya dengan seseorang yang katanya jurnalis dari situs
tersebut juga. Beliau menjelaskan hal-hal tentang jurnalisme, yang katanya
membenarkan pengambilan foto asal di kasih sumbernya di caption, meski tanpa
ijin terlebih dahulu kepada sang empunya blog. Nah masalah mulai timbul disini,
beliau tidak tahu jika foto yang dia pakai ternyata adalah foto curian yang di
curi sang empunya blog dari akun onlain saya. Saya selaku orang awam di dunia
jurnalisme tidak tau pemecahan masalah ini seperti apa, dalam pandangan saya
hanya mengibaratkan seperti penadah yang mempergunakan barang hasil curian.
Saya sudah bersabar, ikhlas jika foto saya tetap dipakai dan
mencoba mengakhiri ini semua, bahkan saya sudah meminta maaf kepada beliau
apabila saya yang salah. Masalah kembali timbul ketika beliau malah berceramah
tentang seluk beluk jurnalisme, dan dari mulutnya yang manis itu keluar
kata-kata yang tidak layak keluar dari mulut seorang yang mengaku Jurnalis.
Dalam akun twitternya menulis
“"Liat dunia luas ga bikin otaknya lebih luas dari
tempurung kepalanya"
“Banyaknya traveling tidak bisa jadi tolak ukur seberapa
besar dia open-minded. Proved”
“+1000. Begonya tingkat dewa”
“aduh Mas, bego itu relatif. Tapi yang ini mungkin
terbelakang.. Ah entahlah, sabarku kurang.”
Saya yakin semua hujatan sang Jurnalis itu ditujukan kepada
saya, tapi dia tidak berani mengatakan hal itu langsung kepada saya, masih
sembunyi di balik embel-embel Jurnalisme yang dia banga-banggakan. Saya sudah
berusaha bersabar, justru malah sahabat-sahabat saya yang bersimpati dan
Jengkel dengan ini semua. Tak jarang saya membaca komen komen mereka seperti di
bawah ini hanya bias senyum-senyum saja.
“*murka* siapa yg berani bilang
anak bubun seperti itu ????
Jika dia tdk bisa apresiasi karya karya indahmu tentang
keindahan alam bumi indonesia artinya mata telah hatinya dibutakan bahwa
pencapaian kesuksesan hidup itu artinya dengan memperoleh status,materi dll ...
Let them judges you whatever they want cos when people
judge you its not define what you are but its define what they are “
“Teruskan dan maju terus! Saya
bahkan belum jalan sejauhmu, belum motret sebagusmu dan belum bisa nulis
sepertimu”
“Bolang jadikan hinaan mereka
sebagai pemicu semangat kita untuk berkarya dan berprestasi lebih baik dimasa
datang..
Kunci kesuksesan itu adalah tekun , gigih serta pantang
menyerah dalam aneka situasi , Jangan pernah surut apapun ucapan mereka
*mwachhhh*”
“Woh ada apa mas ? Saya pasang
barisan terdepan ni siap jadi pion :)
Calm down mas. Yang penting kitanya senang, biarkan
orang berkata apa”
“sabar kakak Tekno Bolang.............kalo
artis emang suka di gituin.....caio....:))”
“sopo sing ngomong kang? tak suwek2
cangkeme”
Saya hanya bisa tersenyum baca itu
semua, artinya meski saya bukan seorang Jurnalis, semampu saya ikut
menyumbangkan apa yang saya bisa lakukan buat kemajuan dunia pariwisata di
negeri ini. Mungkin hanya sebuah aksi kecil, tapi bukankan sesuatu yang besar
juga berawal dari yang kecil.
Jika saya di bilang bego di dunia
jurnalisme memang saya akui, lha saya dapat pelajaran bahasa Indonesia cuma dibangku
sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, di STM pelajaran bahasa juga hanya
dianggap seperti angin lalu saja, karena orientasi saya adalah
pelajaran-pelajaran tehnik. Begitu juga di bangku kuliah, mata pelajaran Bahasa
juga seolah hanya sebagai pelengkap sks saja.
Dari situ bisa dilihat betapa
minimnya ilmu saya di bidang jurnalisme. Selama ini saya hanya menulis,
memotret, merekam gambar bergerak dari apa yang saya lihat, saya dengar, saya
alami dan saya rasakan saja. Tehnik ini itu saya tidak begitu faham, hasilnya
ya apa yang teman-teman semua bisa lihat dan baca di blog sederhana saya ini,
masih belum apa-apanya dibandingkan dengan sebuah situs travel yang mempunyai
jurnalis-jurnalis handal seperti embak-embak yang saya sebutkan diatas.
Tidak ada tujuan apa-apa dari
penulisan ini, saya hanya ingin kita semua merenung dan belajar dari kasus yang
saya alami ini, supaya di kemudian hari tidak terjadi lagi hal seperti ini.
Kita sudah malu di cap sebagai Negara dengan predikat rendah dalam hal pembajakan
hak cipta, sampai-sampai pak Raden tokoh idola saya sejak kecil juga harus
terpuruk seperti itu memperjuangkan hak nya atas si Unyil. Hendaknya kita bisa saling
menghargai satu sama lain. Tujuan awal saya sharing tentang perjalanan saya
adalah supaya teman-teman semua bisa tahu keindahan kan keelokan budaya negeri
kita ini, bukan untuk cari musuh, lha tidak masuk ke dunia travelling ini saya
juga masih bisa makan kok dari pekerjaan utama saya.
Jika ada pihak-pihak yang kurang
berkenan dan terganggu dengan ke”nyiyir”an saya ini, dari lubuk hati yang
paling dalam meminta maaf yang sebesar-besarnya. Semoga ini bisa menjadi proses
pembelajaran bagi saya untuk kedepannya, dan bagi kita semua. Amin
Salam
Lostpacker
Labels: Note